Saga Atmadja
Aku masih mengingat hari itu dengan sangat jelas hari di mana semuanya mulai berubah. Seperti sore-sore biasanya, aku duduk di bangku taman sekolah, menatap lapangan yang sepi setelah bel pulang berbunyi. Sekolah baru saja usai, dan di bawah langit yang mulai mendung, aku merasa dunia di sekitarku melambat. Rambut pendekku yang baru dipotong seminggu lalu sedikit tertiup angin, terasa aneh karena sebelumnya selalu panjang tergerai.
Memotong rambut pendek bukan keputusan yang kuambil dengan mudah. Sebelumnya, rambutku adalah bagian dari diriku yang selalu membuatku merasa nyaman. Panjang, lebat, dan selalu menjadi ciri khasku. Tapi, saat itu, ada sesuatu yang mendorongku untuk memotongnya. Mungkin karena aku ingin sesuatu yang baru, sesuatu yang membuatku merasa lebih bebas. Teman-temanku terkejut ketika melihatku pertama kali dengan rambut pendek ini. "Kok berani potong segitu pendeknya?" kata mereka. Tapi aku hanya tersenyum, berusaha meyakinkan mereka—dan diriku sendiri—bahwa ini adalah bagian dari perubahan yang memang aku inginkan.
Hari itu, setelah hujan yang sebentar turun lalu reda, udara sore terasa lebih segar dari biasanya. Wangi tanah basah tercium jelas, menyegarkan pikiran. Aku tengah tenggelam dalam lamunan saat seseorang berdiri di depanku, mengusik ketenanganku.
Saga.
Dia bukan sosok asing di sekolah ini. Namanya sering terdengar di lorong-lorong, di kantin, di mana pun orang berkumpul untuk berbicara tentang hal-hal yang menarik perhatian mereka. Saga selalu diceritakan sebagai sosok yang tak biasa. "Dia anak bandel," kata sebagian orang. "Suka bolos, seenaknya sendiri," tambah yang lain. Namun yang kulihat saat itu bukanlah sosok seperti yang mereka bicarakan. Di hadapanku sekarang berdiri seorang cowok dengan senyum tipis dan sorot mata yang sulit ditebak.
“Rambutmu pendek,” katanya tanpa basa-basi, suaranya datar, tapi penuh makna. Ada sesuatu dalam caranya mengucapkan kalimat itu yang membuatku ingin tertawa, tapi aku menahannya.
“Ya, baru dipotong,” jawabku singkat, sambil mencoba menyeimbangkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Aku menatapnya, bertanya-tanya apa maksud dari komentarnya itu. Apakah dia mengolok-olok? Tapi ekspresinya tenang, tidak terlihat seperti orang yang ingin mengejek.
Saga tidak langsung duduk, melainkan berdiri di sana, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Dia menatap jauh ke arah lapangan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat dalam. Setelah beberapa detik, dia berbicara lagi, kali ini dengan nada yang berbeda, lebih serius.
“Kamu tahu, rambut itu kayak simbol kehidupan. Setiap orang yang memotong rambut panjangnya, biasanya sedang menjalani perubahan besar dalam hidup mereka, meski mereka sendiri kadang nggak sadar,” katanya.
Aku terdiam, sedikit terkejut dengan apa yang dia katakan. Bukankah Saga seharusnya anak yang suka bolos dan melakukan hal-hal seenaknya? Namun, apa yang keluar dari mulutnya barusan seolah menggambarkan sesuatu yang lebih dalam dari apa yang aku bayangkan tentang dia. Kata-katanya membuatku berpikir sejenak, dan meski aku tidak terlalu ingin mengakuinya, ada kebenaran di sana.
“Mungkin kamu benar,” jawabku akhirnya, tanpa bisa menyembunyikan rasa terkesan. Memang benar, memotong rambut ini lebih dari sekadar perubahan penampilan. Ada sesuatu yang aku cari, meski aku belum sepenuhnya paham apa itu.
Saga tersenyum kecil, lalu tanpa peringatan duduk di sebelahku, seolah itu hal yang wajar. Canggung? Aneh? Entahlah. Anehnya, aku merasa nyaman. Dia mulai bercerita—tentang film yang baru saja dia tonton, tentang musik yang dia dengarkan, dan entah bagaimana, percakapan kami mengalir begitu saja. Aku mendapati diriku mulai tenggelam dalam setiap kalimat yang dia ucapkan.
Ternyata, di balik semua rumor yang beredar, Saga bukanlah seperti yang dibicarakan orang. Dia punya caranya sendiri untuk melihat dunia, lebih dalam dari sekadar apa yang terlihat di permukaan. Setiap topik yang dia bicarakan selalu diikuti oleh pemikiran-pemikiran yang membuatku terkejut. Di satu sisi, aku merasa selama ini mungkin terlalu cepat menilai dia.
Hari itu berlalu begitu saja tanpa terasa. Kami berbicara sampai matahari mulai tenggelam, menyisakan langit jingga yang mulai berganti dengan gelapnya malam. Anak-anak yang tadi bermain di taman satu per satu pulang, dan hanya tersisa kami di bangku itu. Tidak ada kecanggungan lagi, hanya keheningan yang nyaman. Keanehan yang kurasakan saat pertama kali Saga datang perlahan hilang, digantikan oleh rasa penasaran yang tumbuh setiap kali dia berbicara.
Seiring waktu, kami semakin sering bertemu. Saga selalu punya sesuatu yang baru untuk diceritakan, dan entah bagaimana, aku tidak pernah bosan mendengarkannya. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Seperti rambut pendekku yang menandai perubahan, Saga juga menandai babak baru dalam hidupku—babak yang belum sepenuhnya aku pahami, tapi membuatku ingin terus melangkah.
Saga. Namanya sendiri sudah misterius, seperti ruang luas penuh bintang di malam hari yang menanti untuk dijelajahi. Dan aku merasa, aku baru saja memasuki salah satu dari bintang itu, tertarik pada cahaya yang dia pancarkan.
---
Komentar
Posting Komentar